Sejarah
Sulawesi Tenggara yang telah berbentuk kesatuan politik dimulai pada
abad ke 10. Ketika itu berdiri Kerajaan Konawe, kini sebagian besar
wilayahnya masuk dalam Kabupaten Kendari. Nama kerajaan ini diambil dari
nama suku yang mendiami hampir seluruh daratan Sulawesi Tenggara, yaitu
suku Tolaki-Konawe. Pendiri Kerajaan Konawe ini adalah Totongano Wonua,
seorang keturunan Mokole Padangguni, di Unaaha.
Setelah
itu, sejumlah kerajaan bermunculan antara lain Kerajaan Buton, Kerajaan
Muna, Kerajaan Mekongga, Kerajaan Tiworo, Kerajaan Kalisusu, dan
Kerajaan Moronene. Banyak diantara kerajaan-kerajaan tersebut yang
memiliki ikatan kekeluargaan karena terjadi perkawinan diantara keluarga
pemimpin kerajaan tersebut.
Pada
abad ke 16, Kerajaan Buton berperan sebagai pintu gerbang penyebaran
agama Islam dari Ternate di wilayah Sulawesi Tenggara. Selain itu, Buton
juga mencontoh Ternate dalam hal bertanam rempah-rempah. Akhirnya
Buton pun menjadi penghasil rempah-rempah terbesar kedua di Nusantara
setelah Ternate.
Sebagai
penghasil rempah-rempah, Buton merupakan daerah yang sangat menarik
bagi para pedagang VOC. Sejak menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di
Buton, tanggal 5 Januari 1613, armada perdagangan Belanda ini berusaha
menguasai perdagangan rempah-rempah Buton. Langkah VOC tersebut tentu
saja menimbulkan perlawanan rakyat Sulawesi Tenggara, di bawah
pimpinan Sultan Ikhsanuddin kemudian membangun benteng-benteng yang
kukuh untuk menghadapi serangan Belanda.
Pada
tahun 1858, seorang penerus Kerajaan Konawe, La Mangu, mengadakan
perjanjian dengan Belanda membentuk kerajaan baru, bernama, Kerajaan
Laiwoi. Namun kerajaan tersebut hanyalah di atas kertas. Pihak Belanda
yakin bahwa Kerajaan Laiwoi tidak mungkin diwujudkan sebelum
kerajaan-kerajaan Gowa, Bone, Luwu, dan Buton ditaklukkan. Penaklukkan
itu merupakan hal yang mustahil karena kuatnya angkatan perang
kerajaan-kerajaan tersebut. Akhirnya Belanda menempuh jalan diplomasi.
Maka digelarlah perundingan Molawe tahun 1909.
Ditengah-tengah
perundingan yang digelar di Bandar Molawe ini Belanda melakukan
penculikan tokoh-tokoh terkemuka Kerajaan Konawe. Tindakan tersebut
mencetuskan perang Puundombi. Setelah melalui pertempuran sengit, Konawe
dapat dikalahkan dan Belanda segera mewujudkan kerajaan bonekanya,
yaitu, Kerajaan Laiwoi.
Pasca
kejatuhan Kerajaan Konawe dan berdirinya Kerajaan Boneka Laiwoi, rakyat
tidak berhenti melakukan perlawanan bersenjata kepada penjajah Belanda.
Perjuangan rakyat malah meluas ke daerah-daerah lain, misalnya di
Manumohewu rakyat melakukan perlawanan di bawah pimpinan seorang
tamalaki (Perwira) bernama Lapadi. Perlawanan Lapadi berlangsung dari
tahun 1908 sampai tahun 1910. dia tertangkap dalam suatu tipu muslihat
yang dilakukan Belanda.
Di
awal abad ke 20, perjuangan melawan penjajah mulai dilakukan secara
nasional. Banyak organisasi-organisasi politik di Jawa membuka cabang di
Sulawesi Tenggara, seperti Syarikat Islam dan Muhammadiyah.
Perjuangan
lewat jalur politik dan senjata tetap dilakukan di era Jepang. Bahkan
setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pun rakyat masih melakukan
perlawanan. Insiden di Kombobaru tanggal 19 November 1945, misalnya,
rakyat menyerang dan menawan satu peleton tentara Jepang.
Setelah
Jepang angkat kaki dari bumi Sulawesi Tenggara, rakyat mulai melakukan
perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Mereka melakukan perlawanan
terhadap tentara Belanda, NICA, yang mendarat di daerah ini dengan
membonceng Sekutu. Perlawanan terhadap NICA baru berhenti setelah
pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Belanda mengakui
kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Bentuk
negara serikat ternyata tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Hal ini
menyebabkan RIS tidak berumur lama. Tanggal 17 Agustus 1950, RIS resmi
bubar dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Sejak saat itu,
wilayah Sulawesi Tenggara menjadi salah satu bagian dari Provinsi
Sulawesi.
Pada
tahun 1960, Provinsi Sulawesi dipecah menjadi dua, yaitu, Provinsi
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara. Kondisi
Sulawesi Selatan-Tenggara pada awal pembentukannya belum stabil sebagai
akibat dari adanya pemberontakan Kahar Muzakkar dan peristiwa destruktif
lainnya. Namun kondisi ini berlangsung membaik seiring berbagai
penataan yang dilakukan pemerintah ketika itu sampai akhirnya dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964, Sulawesi Tenggara berstatus sebagai
Provinsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar